Bolehkah Orang tua Mengetahui Privasi Anak? – Sebagai orang tua, kita pasti ingin mengetahui banyak hal mengenai anak, tetapi orang tua sering lupa bahwa anak-anak juga memiliki privasinya sendiri.
Saat anak beranjak remaja, mereka mulai menginginkan kebebasan, seperti menutup pintu kamarnya, tidak ingin diantar ke sekolah, hingga mulai menyimpan rahasia. Hal tersebut sangat wajar dilakukan oleh anak-anak karena mereka sedang membangun batasan privasi dengan orang tua.
Menurut Allison Kawa, Psy. D., seorang psikolog anak dalam parents.com, teman sebaya merupakan bagian penting dalam kehidupan anak di usia-usia ini. Hal ini turut mengubah keinginan memiliki privasinya sendiri, misalnya urusan berganti pakaian, ganti baju, mengungkapkan perasaan terdalam melalui buku harian.
Lalu, bolehkah orang tua mengetahui privasi anak? Memangnya, apa itu privasi anak? Lalu, bagaimana cara orang tua memberikan privasi kepada anak? Yuk, simak penjelasannya berikut ini!
Baca Juga: 7 Reward untuk Anak SMP yang Baru Beranjak Remaja
Apa itu Privasi Anak?
Saat beranjak remaja, anak membutuhkan ruangnya sendiri. Mereka ingin aman dan nyaman ketika melampiaskan perasaan dan menjaga kerahasiaan. Secara sederhana, privasi adalah hak untuk mengatur seberapa banyak akses orang lain terhadap diri kita atau akses orang lain terhadap ruang pribadi kita.
Anak-anak akan sangat sensitif jika privasinya dilanggar. Bahkan, mereka sangat protektif terhadap privasi mereka. Jika orang tua terlalu “kepo” dan terus menerus melanggar privasi anak, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap hubungan orang tua dan anak.
Memang apa pentingnya menghargai privasi anak? Memberikan ruang kepada anak dengan menghargai privasi yang mereka miliki dapat menimbulkan perkembangan yang baik bagi mereka. Anak-anak akan merasa percaya diri dan menganggap orang tua telah percaya kepada dirinya.
Ketika anak-anak memiliki kebebasan sendiri, mereka akan lebih mandiri dalam menghadapi masalah. Terkadang terdapat hal-hal yang tidak bisa diceritakan kepada orang tua, seperti hubungan percintaan atau perubahan fisik yang mereka alami. Mereka akan lebih nyaman bercerita kepada teman seusia mereka.
Orang tua harus pandai menemukan keseimbangan antara ingin mengetahui perkembangan anak, memberikan ruang, dan mengetahui kapan harus ikut campur dalam permasalahan anak. Kira-kira bagaimana caranya? Yuk, simak penjelasannya berikut ini!
Baca Juga: 7 Contoh Hidup Rukun di Rumah. Simak, yuk!
Cara Orang Tua Memberikan Privasi Kepada Anak
Ketika memberikan kebebasan kepada anak, orang tua pasti tidak bisa benar-benar lepas dari tanggung jawab menjaga anak. Meskipun diberikan kebebasan, orang tua juga harus tahu sejauh mana batasan kebebasan tersebut. Berikut beberapa batasan yang bisa dilakukan orang tua dalam menghargai privasi anak.
1. Pemakaian Media Sosial
Pada zaman digital seperti saat ini, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar dan berselancar di dunia maya. Media sosial menjadi ruang privasi anak yang baru.
Dalam menjaga batasan dalam media sosial, orang tua dan anak harus menyepakati hal-hal yang berhubungan dengan pemakaian media sosial. Misalnya, apakah orang tua boleh melihat chat anak bersama anak teman-temannya atau apakah orang tua boleh mengakses akun Instagram anak?
Jika tidak diperbolehkan, orang tua diharapkan bisa menghormati keputusan anak. Namun, tetap memberikan nasihat mengenai hal yang baik dan buruk dalam media sosial kepada anak.
Perhatikan juga penggunaan bahasa dan cara penyampaiannya. Pastikan orang tua tidak berlagak seperti menggurui anak, tetapi menasihati dengan cara yang lebih santai dan menyesuaikan dengan karakteristiknya.
2. Jangan Mengawasi Diam-Diam
Mengawasi anak secara diam-diam dalam hal ini maksudnya seperti memeriksa lemari dan laci anak, melihat-lihat ponsel anak, melihat tas, dan hal lainnya yang dilakukan tanpa meminta persetujuan anak.
Sebaiknya, orang tua lebih menghargai anak dengan meminta persetujuan untuk membuka barang-barang miliknya. Sebab, mengawasinya secara diam-diam menandakan orang tua tidak dapat menaruh kepercayaannya kepada anak. Hal itu tentu dapat memicu konflik antara anak dan orang tua.
3. Menghargai Diary Anak
Anak-anak sering menulis masalahnya dalam diary dan tersimpan di dalam laci kamar. Bahkan, terkadang mereka mengunci diary tersebut dengan kunci gembok yang didapatkan ketika membeli diary.
Jika orang tua ingin memberikan privasi kepada anak, mereka harus menghargai diary yang dibuat oleh anak dengan tidak membacanya. Bisa jadi memang anak tidak ingin orang tuanya membaca langsung buku tersebut karena dirasa terlalu personal baginya.
Jadi, lebih baik menunggu anak bercerita ya, Whizparent, daripada mengintip diary anak karena bisa melukai kepercayaannya.
4. Tidak Memaksakan Kehendak Anak
Saat anak beranjak remaja, mereka pasti memiliki selera dan pilihan yang berbeda dari orang tua. Entah dalam hal musik, gaya berpakaian, hobi, idola, bahkan cita-cita. Orang tua harus menghormati setiap keputusan anak dan tidak memaksakan preferensi pribadi orang tua terhadap anak.
Sayangnya, di Indonesia, masih banyak anak-anak yang dipaksa untuk mengikuti keinginan orang tuanya. Misalnya, mereka memasuki jurusan kuliah sesuai dengan keinginan orang tua. Padahal, anak itu tidak benar-benar nyaman dan menyukainya.
Pemaksaan seperti itu bisa menyebabkan anak tidak leluasa untuk menjalani kehidupannya. Anak pun menjadi tidak bisa membuat keputusannya sendiri. Jika Whizparent ingin menghargai privasi anak, cobalah untuk tidak memaksakan keinginan anak.
Meski begitu, orang tua tetap harus membimbing anak dalam mengambil keputusan. Sebab, seringkali anak cepat mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensi yang harus dihadapi.
5. Mendengarkan Pendapat Anak
Sebagai seorang orang tua, perasaan bahagia dan bangga pasti ada ketika anak berprestasi. Seringkali, orang tua akan memublikasikan foto anak beserta caption ke media sosial sebagai ungkapan rasa bangganya. Namun, ternyata tidak semua anak menyukainya, loh.
Lagi-lagi, setiap orang tua harus mengenali karakteristik anaknya. Perhatikanlah hal-hal yang ia suka dan tidak suka supaya Whizparent dapat menyesuaikan sikap. Misalnya, jika anak tidak suka ketika fotonya dipublikasikan di media sosial orang tuanya.
Walaupun niatnya baik, alangkah lebih baik Whizparent bicara dahulu kepada anak. Mungkin saja anak tersebut tidak suka ketika wajahnya terekspos. Jadi, Whizparent bisa mengganti foto tersebut menjadi foto bentuk apresiasi yang didapatkan, seperti sertifikat maupun piala.
Hal ini juga sempat disampaikan oleh Katie Goldstein, seorang ibu asal New York sekaligus seorang children’s privacy lawyer, yang dikutip dalam artikelnya di Parents, setiap orang tua pasti ingin membagikan momen-momen indah dengan anaknya. Namun, kita juga harus sadar bahwa media sosial merupakan wadah yang sangat luas dan umum digunakan di seluruh dunia sehingga privasi keluarga dapat tersebar dengan instan.
6. Membuat dan Menyepakati Aturan Privasi
Orang tua memang harus menjaga privasi anak, tetapi bukan berarti kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Whizparent harus berdiskusi dengan anak mengenai aturan privasi tersebut. Setelah berdiskusi, diharapkan aturan itu akan disepakati oleh orang tua dan anak.
Whizparent juga harus berpikir positif, ya. Yakinkan diri akan kemampuan anak untuk melakukan semua hal secara positif. Sebab, hal itu juga bisa menumbuhkan rasa mandiri dan tanggung jawab anak. Dengan begitu, rasa percaya akan saling tumbuh di antara hubungan anak dan orang tua.
Baca Juga: Sandwich Generation – Definisi, Tipe, dan Cara Memutus Rantainya
Jadi, sebenarnya batasan privasi anak bergantung pada setiap kesepakatan yang telah didiskusikan antara anak dan orang tua. Cobalah untuk selalu berpikir positif kepada anak supaya Whizparent bisa menumbuhkan rasa percaya kepadanya.
Dalam Aplikasi Keuangan Whiz, orang tua memiliki akses melihat aktivitas keuangan anak melalui fitur pantauan tanpa takut melanggar privasi anak. Fitur tersebut akan sangat membantu orang tua yang “kepo” terhadap aktivitas keuangan anak.
Komentar